Senin, 18 Januari 2016

PHK hantui industri tekstil dan sepatu

Alih-alih menguat, industri sepatu & sandal mengalami penurunan menjelang Lebaran. Perihal ini mengejutkan para pemilik pabrik mengingat kontribusi penjualan sebelum Idul Fitri amat sangat krusial.
Menurut Hariyanto, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia, penjualan product alas kaki kepada musim sebelum & sewaktu Ramadan mampu menyumbangkan 40% sampai 50% penjualan setahun.
“Namun thn ini jumlah itu merosot sedemikian drastis. Yg paling tidak sedikit mengalami penurunan yakni product yg harganya berkisar Rp100.000-an. Merk-merk yg jual product tersebut pernah kaget lantaran kebanyakan kepada masa-masa seperti ini mereka menikmati hasil penjualan yg luar biasa,” kata Hariyanto terhadap jurnalis BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Akibat penurunan penjualan, jumlahnya pabrik mengurangi produksi. Imbasnya, para karyawan tak dapat mendulang pendapatan berlebih.
“Biasanya mereka hingga lewat waktu menjelang Lebaran,” kata Hariyanto.

Image caption
Penjualan product alas kaki terhadap periode sebelum & tatkala Ramadan mampu menyumbangkan 40% sampai 50% penjualan setahun.
Karyawan yg paling merasakan efek tersebut adalah mereka yg bekerja kepada bisnis mungil & menengah (UKM).
Jumlah UKM yg bergerak di sektor produksi alas kaki, kata Hariyanto, akbar tetapi tak terdata.
“Home industry kebanyakan punyai karyawan 20 orang. Nah, bayangkan bila jumlah home industry ribuan. Demikian produksi berakhir, usaha-usaha tersebut tak miliki pendapatan buat menggaji karyawan yg diupah per hri,” ujarnya.
Merumahkan karyawan
Tidak Cuma industri sepatu, industri yg terimbas perlambatan ekonomi merupakan industri tekstil.
Selagi enam bln terakhir, sedikitnya 18 pabrik tekstil sudah berakhir beroperasi & merumahkan karyawannya.
Ade Sudradjat, selaku Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengemukakan benar-benar belum ada pemutusan jalinan kerja (PHK) besar-besaran. Tapi, jam kerja karyawan banyaknya pabrik waktu ini jadi lebih pendek sebab product tak mampu dipasarkan.
Penyebab mandeknya penjualan, kata Ade, disebabkan daya beli penduduk yg lemah & tingginya ongkos produksi.

Image caption
Tatkala enam bln terakhir, sedikitnya 18 pabrik tekstil sudah berakhir beroperasi & merumahkan karyawannya.
Adapun tingginya ongkos produksi terdiri dari sebanyak hal, seperti kenaikan tarif listrik, asuransi, pula kewajiban pebisnis buat membayar dana pensiun & pesangon lewat BPJS (Tubuh Penyelenggara Jaminan Sosial).
Penuturan Ade diamini Kepala Instansi Penyelidikan Ekonomi & Penduduk Kampus Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna Artha.
Katanya, PHK berjalan selama buruh meminta kenaikan penghasilan di tengah melemahnya nilai pindai rp pada dolar Amerika Serikat. Bidang yg paling parah terkena pukulan ini yakni industri padat karya, semisal industri tekstil & industri alas kaki.
Berdasarkan data kementerian Perindustrian, industri tekstil & product tekstil juga industri, alas kaki menyumbangkan devisa ekspor non migas senilai US$17,32 miliar kepada 2014.
Adapun penyerapan tenaga kerja ke-2 industri tersebut mencapai 15,1% dari keseluruhan tenaga kerja industri manufaktur.